Mengapa Terjadi Krisis Real Estate di China?
namaguerizka.com Krisis real estate di China, terutama yang dipicu oleh keruntuhan perusahaan properti besar seperti Evergrande dan Country Garden, telah menjadi sorotan global dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada ekonomi domestik Tiongkok, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi global. Artikel ini akan menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan krisis properti di China, peran perusahaan seperti Evergrande dan Country Garden dalam krisis ini, serta dampak lebih lanjut yang mungkin terjadi.
Latar Belakang Pasar Properti di China
Pasar properti di China berkembang pesat sejak 1990-an, seiring dengan deregulasi sektor real estate dan peningkatan urbanisasi di negara ini. Dalam kurun waktu beberapa dekade, China mengalami transformasi besar-besaran, dengan jutaan orang pindah ke perkotaan dan kebutuhan akan perumahan meningkat tajam. Sebagai respon atas permintaan tinggi tersebut, pemerintah China memberikan banyak insentif bagi perusahaan-perusahaan properti untuk melakukan ekspansi masif. Bank-bank pun dengan mudah memberikan pinjaman, memungkinkan perusahaan real estate untuk meminjam dana dalam jumlah besar.
Namun, kebijakan pinjaman ini akhirnya berbalik menjadi risiko besar. Banyak perusahaan properti yang mengambil pinjaman dengan jumlah yang sangat besar untuk membiayai proyek-proyek yang ambisius, sering kali tanpa memperhitungkan kemampuan mereka untuk melunasi pinjaman tersebut. Selama bertahun-tahun, hal ini menyebabkan tingkat utang yang sangat tinggi di industri properti China, menciptakan fondasi yang rentan terhadap potensi krisis.
Runtuhnya Raksasa Properti: Evergrande dan Country Garden
1. Evergrande
Evergrande, yang didirikan pada tahun 1996, awalnya membidik kelas menengah ke atas, yang menjadi sasaran utama di tengah pesatnya peningkatan kelas ekonomi di China. Perusahaan ini berkembang pesat dan berhasil menjadi salah satu pengembang properti terbesar di China, dengan proyek-proyek yang tersebar di seluruh negeri. Evergrande tidak hanya membangun perumahan, tetapi juga merambah ke sektor lain seperti pengembangan kota, keuangan, bahkan sepak bola.
Namun, ekspansi besar-besaran Evergrande diiringi dengan pinjaman yang luar biasa besar. Mereka terus menerus melakukan pembangunan dengan menggunakan dana dari utang dan juga dari pembayaran di muka oleh pembeli properti. Pada puncaknya, utang Evergrande mencapai lebih dari USD 300 miliar. Dengan meningkatnya utang, perusahaan ini semakin sulit untuk melunasi kewajibannya, terutama saat permintaan pasar mulai melemah.
Ketika pemerintah China mulai menerapkan kebijakan "Three Red Lines" pada tahun 2020, yang membatasi utang perusahaan properti untuk mencegah gelembung ekonomi, situasi Evergrande menjadi semakin sulit. Evergrande tidak mampu memenuhi persyaratan regulasi tersebut dan mulai menghadapi kesulitan likuiditas yang serius. Pada tahun 2021, perusahaan ini mulai gagal memenuhi kewajibannya kepada investor dan kreditur, yang akhirnya memicu krisis properti di Tiongkok.
2. Country Garden
Country Garden adalah perusahaan properti besar lainnya yang mengalami masalah serupa. Meskipun tidak sebesar Evergrande, Country Garden juga memiliki ekspansi besar-besaran dan mengandalkan pinjaman dalam jumlah besar untuk mendanai proyek-proyeknya. Perusahaan ini berfokus pada proyek-proyek di kota-kota lapis kedua dan ketiga, yang mengalami peningkatan permintaan selama dekade sebelumnya.
Namun, ketika kondisi ekonomi mulai melambat dan permintaan properti menurun, Country Garden juga terjebak dalam masalah utang yang sangat besar. Ketergantungan mereka pada proyek di kota-kota yang kurang berkembang membuat mereka sulit menjual unit-unit properti dengan cepat. Pada tahun 2023, Country Garden juga menghadapi kesulitan likuiditas, yang memperparah krisis yang sudah dimulai oleh Evergrande.
Faktor-Faktor Penyebab Krisis Properti di China
Beberapa faktor utama yang menyebabkan krisis properti di China antara lain:
1. Utang Berlebihan Banyak perusahaan properti di China, termasuk Evergrande dan Country Garden, bergantung pada utang untuk memperluas bisnis mereka. Tingkat utang yang tinggi membuat mereka rentan terhadap perubahan kebijakan pemerintah dan fluktuasi pasar. Ketika pemerintah memberlakukan batasan pinjaman, perusahaan-perusahaan ini tidak lagi mampu mendapatkan dana yang cukup untuk melanjutkan operasionalnya.
2. Kebijakan Pemerintah yang Ketat Kebijakan "Three Red Lines" adalah salah satu langkah pemerintah China untuk mengendalikan sektor properti yang dinilai terlalu panas. Kebijakan ini menetapkan batasan utang berdasarkan rasio aset, ekuitas, dan kas perusahaan. Meskipun bertujuan untuk menstabilkan pasar, kebijakan ini justru menyebabkan perusahaan-perusahaan yang sudah terlalu banyak berutang menjadi kewalahan dan akhirnya mengalami krisis.
3. Penurunan Permintaan Seiring dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi China, permintaan akan properti mulai menurun. Banyak proyek properti yang sudah dibangun namun tidak terjual, menyebabkan perusahaan kehilangan sumber pendapatan yang sangat dibutuhkan untuk melunasi utang. Kondisi ini juga diperparah oleh penurunan tingkat kepercayaan konsumen terhadap pasar properti di China.
4. Ketergantungan pada Pendanaan dari Pembeli di Muka Perusahaan properti di China, termasuk Evergrande dan Country Garden, sering kali mengandalkan pembayaran di muka dari pembeli untuk mendanai proyek mereka. Ketika pembeli mulai kehilangan kepercayaan dan berhenti membayar di muka, perusahaan kehilangan aliran dana yang sangat penting untuk menyelesaikan proyek mereka. Akibatnya, banyak proyek yang mangkrak atau tertunda.
5. Tingkat Pengangguran dan Penurunan Pendapatan Dengan meningkatnya pengangguran dan penurunan pendapatan di China, daya beli masyarakat berkurang, sehingga banyak yang menunda atau membatalkan rencana membeli rumah. Ini berdampak langsung pada sektor properti dan memperparah krisis yang sudah ada.
Dampak Krisis Properti di China
Krisis properti di China berdampak besar pada berbagai aspek ekonomi, baik di tingkat nasional maupun internasional:
1. Ekonomi Domestik Krisis ini berdampak pada ekonomi domestik China secara keseluruhan. Industri properti merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi di negara ini, sehingga ketika sektor ini mengalami krisis, dampaknya dirasakan oleh sektor-sektor lain yang terkait, seperti industri konstruksi, perbankan, dan perdagangan.
2. Pasar Keuangan Global Sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia, masalah ekonomi di China memiliki dampak signifikan pada pasar keuangan global. Saham perusahaan-perusahaan China yang terdaftar di bursa internasional mengalami penurunan, dan kekhawatiran tentang potensi efek domino mengakibatkan ketidakpastian di pasar keuangan global.
3. Kepercayaan Konsumen Krisis ini mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar properti. Banyak pembeli yang merasa tidak aman untuk membeli rumah karena takut proyek tersebut tidak akan selesai. Hal ini menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam permintaan properti, menciptakan lingkaran setan yang sulit diatasi.
4. Dampak pada Kebijakan Pemerintah China Pemerintah China sedang berupaya untuk menyeimbangkan kebutuhan stabilitas ekonomi dengan mencegah gelembung properti yang semakin besar. Kebijakan ketat yang diterapkan telah memperparah krisis bagi perusahaan yang terlalu banyak berutang. Di sisi lain, pemerintah berusaha mencari solusi jangka panjang untuk menstabilkan pasar properti tanpa membahayakan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Kesimpulan
Krisis real estate di China merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait, mulai dari utang berlebihan oleh perusahaan properti hingga kebijakan pemerintah yang berusaha mengendalikan pasar. Keruntuhan Evergrande dan Country Garden hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar. Krisis ini tidak hanya mengancam stabilitas ekonomi domestik China, tetapi juga membawa risiko bagi pasar keuangan global. Jika tidak ditangani dengan bijaksana, krisis properti di China berpotensi menimbulkan dampak luas yang akan dirasakan di berbagai belahan dunia.