Berapa Lama Kontrak Kerja Outsourcing Berdasarkan UU Ketenagakerjaan di Indonesia?
namaguerizka.com Sistem kerja outsourcing adalah salah satu bentuk hubungan kerja yang cukup umum di Indonesia, terutama dalam sektor tertentu seperti keamanan, kebersihan, dan manufaktur. Sistem ini memungkinkan perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja melalui pihak ketiga (perusahaan outsourcing). Namun, banyak orang bertanya-tanya, berapa lama kontrak kerja outsourcing berlaku, dan bagaimana pengaturannya menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan?
Pengaturan Kontrak Kerja Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sistem kerja outsourcing memiliki batasan masa kerja maksimal. Untuk kontrak kerja outsourcing berbasis waktu tertentu (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT), masa kerja maksimal adalah 2 tahun dengan kemungkinan perpanjangan selama 1 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa:
1. PKWT dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu maksimal 1 tahun.
2. PKWT hanya dapat diperbarui setelah masa tenggang 30 hari sejak kontrak kerja sebelumnya berakhir, dengan ketentuan perpanjangan hanya boleh dilakukan satu kali untuk jangka waktu maksimal 2 tahun.
Namun, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020) membawa beberapa perubahan pada pengaturan ketenagakerjaan, termasuk outsourcing. Salah satu perubahan adalah tidak adanya batasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja outsourcing. Hal ini menyebabkan potensi peningkatan fleksibilitas dalam penerapan sistem outsourcing.
Meskipun demikian, kontrak kerja outsourcing tetap tunduk pada prinsip-prinsip perjanjian kerja sesuai dengan jenisnya, baik PKWT maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Untuk PKWT, batasan durasi tetap menjadi acuan penting.
---
Praktik yang Sering Ditemukan di Lapangan
Dalam praktiknya, aturan maksimal masa kerja outsourcing sering kali diakali oleh perusahaan. Beberapa trik yang dilakukan meliputi:
1. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Fiktif: Perusahaan outsourcing memberhentikan karyawan setelah kontrak berakhir, tetapi kemudian mempekerjakan kembali karyawan yang sama dengan kontrak baru, tanpa masa tenggang 30 hari sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang.
2. Alih Status ke Perusahaan Outsourcing Baru: Tenaga kerja dipindahkan ke perusahaan outsourcing yang berbeda meskipun tetap melakukan pekerjaan yang sama. Dengan cara ini, perusahaan inti tidak melanggar aturan karena kontrak baru dianggap sebagai hubungan kerja yang berbeda.
3. Penggunaan Perjanjian Lisan atau Nonformal: Beberapa perusahaan tidak memberikan kontrak kerja tertulis, yang membuat tenaga kerja sulit menuntut hak mereka jika kontrak diperpanjang secara sepihak.
---
Implikasi Bagi Tenaga Kerja
Sistem kerja outsourcing memiliki beberapa dampak, baik positif maupun negatif, bagi tenaga kerja. Dari sisi positif, sistem ini memungkinkan tenaga kerja mendapatkan pekerjaan dengan lebih cepat, terutama dalam sektor-sektor yang memiliki kebutuhan tenaga kerja tinggi. Namun, dampak negatif sering kali lebih terasa, terutama dalam hal ketidakpastian kerja dan kesejahteraan.
Masalah yang sering dihadapi tenaga kerja outsourcing meliputi:
1. Ketidakpastian Status Kerja: Karena sifat kontrak yang sementara, tenaga kerja outsourcing sering kali tidak memiliki jaminan keberlanjutan kerja.
2. Keterbatasan Akses Hak-Hak Karyawan: Dalam banyak kasus, tenaga kerja outsourcing tidak mendapatkan hak yang sama seperti pekerja tetap, seperti tunjangan kesehatan, cuti tahunan, dan pesangon saat kontrak berakhir.
3. Upah yang Tidak Memadai: Beberapa perusahaan outsourcing membayar gaji tenaga kerja di bawah upah minimum regional (UMR), dengan alasan efisiensi biaya.
---
Apa yang Harus Dilakukan Tenaga Kerja?
Untuk melindungi hak-hak mereka, tenaga kerja outsourcing perlu memahami aturan main yang berlaku. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa dilakukan:
1. Memahami Isi Kontrak Kerja: Pastikan kontrak kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk durasi, upah, dan hak-hak lain seperti jaminan sosial.
2. Melaporkan Pelanggaran: Jika perusahaan outsourcing tidak mematuhi aturan, tenaga kerja dapat melapor ke Dinas Ketenagakerjaan setempat atau menggunakan mekanisme hukum yang ada.
3. Bergabung dengan Serikat Pekerja: Serikat pekerja sering kali dapat membantu memperjuangkan hak tenaga kerja outsourcing, terutama dalam kasus pelanggaran hak atau perselisihan hubungan industrial.
---
Kesimpulan
Sistem outsourcing memiliki aturan yang jelas dalam UU Ketenagakerjaan, terutama terkait durasi kontrak maksimal yaitu 2 tahun dengan perpanjangan 1 tahun. Namun, pelanggaran aturan ini masih sering terjadi dalam praktiknya. Oleh karena itu, penting bagi tenaga kerja untuk memahami hak-haknya dan mengambil langkah proaktif dalam melindungi diri mereka. Pemerintah juga diharapkan terus meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan outsourcing untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.