--> Skip to main content

Apakah Calon Kepala Daerah Harus Mundur?

namaguerizka.com Pertanyaan mengenai apakah calon kepala daerah harus mundur ketika mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi topik yang sering dibahas, terutama dalam konteks menjaga integritas dan keadilan dalam proses demokrasi. Dalam peraturan yang berlaku saat ini, khususnya dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2017, dinyatakan bahwa kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang mencalonkan diri kembali dalam Pilkada tidak perlu mengundurkan diri dari jabatan mereka. Mereka hanya diwajibkan untuk mengambil cuti selama masa kampanye. 

**Dasar Hukum: PKPU Nomor 15 Tahun 2017**

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kepulauan Riau (Kepri), Arison, di Tanjungpinang pada Senin (11/11) mengungkapkan bahwa aturan tersebut mengatur ketentuan bagi pejabat yang mencalonkan diri, baik di tingkat gubernur, bupati, maupun walikota. Aturan ini mengakomodasi pejabat petahana (incumbent) untuk tetap mengikuti proses demokrasi dengan tidak mewajibkan mereka mengundurkan diri, tetapi cukup dengan mengambil cuti selama masa kampanye berlangsung.

Cuti tersebut dimaksudkan agar kepala daerah atau wakil kepala daerah yang mencalonkan diri tidak menggunakan fasilitas dan kekuasaan mereka sebagai pejabat untuk kepentingan politik pribadi. Dalam konteks ini, mereka harus meninggalkan tugas-tugas pemerintahan sementara waktu dan berkampanye dalam kapasitas sebagai calon, bukan sebagai kepala daerah yang sedang menjabat.

**Alasan Tidak Harus Mundur**

Ada beberapa alasan di balik aturan ini. Pertama, kepala daerah yang harus mundur dari jabatannya bisa menimbulkan kekosongan kepemimpinan dalam pemerintahan, yang dapat berdampak pada terganggunya pelayanan publik dan roda pemerintahan. Dengan mengambil cuti, roda pemerintahan tetap dapat berjalan dengan baik melalui mekanisme pelimpahan wewenang kepada pejabat yang ditunjuk, biasanya sekretaris daerah atau pejabat sementara lainnya. 

Kedua, aturan ini memberikan kesempatan bagi kepala daerah petahana untuk membuktikan kinerjanya selama masa kampanye. Ini memungkinkan pemilih untuk menilai calon berdasarkan rekam jejaknya, yang dapat menjadi faktor penting dalam proses pemilihan. 

**Potensi Penyalahgunaan Wewenang**

Meskipun aturan ini memberikan kesempatan kepada petahana untuk tidak mundur, ada kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan wewenang. Sebagai pejabat yang masih menjabat, ada kemungkinan bahwa petahana dapat memanfaatkan sumber daya negara, fasilitas, dan jabatannya untuk memperkuat kampanye mereka. Karena itu, PKPU 15/2017 juga mengatur larangan keras bagi petahana untuk menggunakan fasilitas negara dan sumber daya pemerintah selama masa kampanye.

Dalam hal ini, KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berperan penting dalam mengawasi dan menindak pelanggaran yang terjadi. Pengawasan yang ketat dibutuhkan agar proses demokrasi tetap berjalan secara adil dan transparan, tanpa ada pihak yang diuntungkan secara tidak wajar.

**Cuti Kampanye: Batasan dan Pengawasan**

Selama masa kampanye, petahana wajib mengajukan cuti kepada gubernur (untuk bupati/walikota) atau Menteri Dalam Negeri (untuk gubernur). Cuti ini berlangsung dari awal hingga akhir masa kampanye, yang diatur dalam tahapan Pilkada. Dengan adanya cuti ini, petahana tidak boleh melaksanakan tugas pemerintahan dalam kapasitas mereka sebagai pejabat, sehingga tidak ada konflik kepentingan antara kampanye politik dan tanggung jawab pemerintahan. 

Namun, meskipun telah cuti, pengawasan harus tetap dilakukan secara ketat untuk memastikan bahwa calon petahana tidak memanfaatkan fasilitas negara atau mengambil keputusan strategis selama masa cuti yang dapat memengaruhi hasil Pilkada. Bawaslu berperan aktif dalam melakukan investigasi dan memproses dugaan pelanggaran kampanye oleh petahana.

**Pro dan Kontra Aturan Cuti**

Keputusan untuk tidak mewajibkan mundur kepala daerah atau wakil kepala daerah yang mencalonkan diri kembali ini menimbulkan berbagai pandangan pro dan kontra. Pihak yang mendukung aturan ini berpendapat bahwa dengan hanya mengambil cuti, stabilitas pemerintahan tetap terjaga, terutama di daerah-daerah yang memerlukan kepemimpinan yang kuat dan berkelanjutan.

Di sisi lain, pihak yang tidak setuju dengan aturan ini merasa bahwa petahana memiliki keuntungan yang tidak adil dibandingkan dengan calon-calon lain. Mereka berpendapat bahwa meskipun petahana mengambil cuti, masih ada kemungkinan adanya pengaruh tidak langsung terhadap birokrasi atau penggunaan jaringan pemerintahan untuk kampanye. Ini bisa menciptakan ketimpangan dalam persaingan politik, di mana calon baru yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas negara atau jaringan pemerintahan akan berada dalam posisi yang kurang diuntungkan.

**Kesimpulan**

PKPU Nomor 15 Tahun 2017 yang mengatur bahwa calon kepala daerah petahana tidak perlu mengundurkan diri, tetapi cukup mengambil cuti selama masa kampanye, merupakan aturan yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara proses politik dan stabilitas pemerintahan. Namun, penerapan aturan ini memerlukan pengawasan ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara oleh petahana yang mencalonkan diri. Pada akhirnya, transparansi dan keadilan dalam proses Pilkada sangat bergantung pada efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar

Advertiser